welcome to fitriwahyu's blog
Blog ini menceritakan tentang pendidikan dan kehidupan saya dalam belajar
Selasa, 12 April 2016
Review Jurnal
Judul
|
Pembentukan
Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam
|
Jurnal
|
Jurnal
Al-Ulum
|
Volume
& Halaman
|
Vol.13
No 1, &25-38
|
Tahun
|
2013
|
Penulis
|
Nur
Ainiyah
|
Reviewer
|
Fitri
Sayidati Mukaromah/20140720139
|
Tanggal
Review
|
9
April 2016
|
Review Film Sang Pencerah
REVIEW
FILM”SANG PENCERAH”
Judul : Sang Pencerah
Sutradara :Hanung Bramantyo
Produser :Raam Punjabi
Penulis :Hanung Bramantyo
Pemeran :Lukman
Sardi, Yati Surachman, Slamet Rahardjo, Giring Ganesha, Ikranagara, Muhammad
Ihsan Tarore, Zaskia Adya Mecca, Sujiwo Tejo, Dennis Adhiswara, Agus Kuncoro.
Artikel tentang membentuk karakter islami untuk anak usia dini
Pembentukan Karakter Anak Usia Dini
Melalui PAI
Pendidikan
karakter menjadi isu penting dalam dunia
pendidikan akhir akhir ini, hal ini berkaitan dengan fenomena dekadensi moral
yang terjadi di tengah tengah masyarakat maupun di lingkungan pemerintahan yang
semakin meningkat dan beragam, kriminalitas, ketidakadilan, korupsi, kekerasan
pada anak, pelanggaran HAM menjadi bukti bahwa telah terjadi krisis jati diri
dan karakteristik pada bangsa Indonesia.
Selasa, 05 April 2016
Selasa, 29 Maret 2016
Bismilah yang Terakhir
Bismillah ya Allah
Cinta sejati dia tidak akan pergi. Cinta sejati dia akan menunggu
Terimakasi kamu telah hadir menemaniku selama ini
walaupun permasalahan selalu datang tapi kita yakin dengan kekuatan cinta
kita bisa membendung semuanya
Karena cinta sejati cinta yang tulus dia selalu ada di sampingmu di saat dia menangis dan tertawa
Terimakasi Allah telah kirimkan malaikat yang menemaniku kini
Cintailah aku apa adanya
Cinta sejati dia tidak akan pergi. Cinta sejati dia akan menunggu
Terimakasi kamu telah hadir menemaniku selama ini
walaupun permasalahan selalu datang tapi kita yakin dengan kekuatan cinta
kita bisa membendung semuanya
Karena cinta sejati cinta yang tulus dia selalu ada di sampingmu di saat dia menangis dan tertawa
Terimakasi Allah telah kirimkan malaikat yang menemaniku kini
Cintailah aku apa adanya
Label:
bahagia,
bestcouple,
cintasejati,
cintaterakhir,
iloveAllah,
indah,
selalu tersenyum,
selamanya
Jumat, 18 Maret 2016
ARTIKEL
ARTIKEL TAWURAN PELAJAR
Perkelahian,
atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan
bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke
kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada
remaja.
Jelas bahwa perkelahian
pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak
negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang
terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila
mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus,
halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan
kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin
adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan
siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para
pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk
memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar
tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka
panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
PANDANGAN UMUM TERHADAP
PENYEBAB PERKELAHIAN PELAJAR
Sering dituduhkan,
pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, berasal dari keluarga
dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak mendukung hal ini. Dari 275
sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77 di antaranya adalah sekolah
menengah umum. Begitu juga dari tingkat ekonominya, yang menunjukkan ada
sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari keluarga mampu secara
ekonomi. Tuduhan lain juga sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang
memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang
dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal penyebab
perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar,
masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis,
juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya),
serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.
Secara psikologis,
perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu
bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan
remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi
yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian
terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi.
Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah
secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat
perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini
ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk
berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan
oleh kelompoknya.
Peristiwa seperti itu
tidak boleh dibiarkan. Semua pihak harus merasa prihatin dan tidak
boleh sekedar menuding atau menyalahkan pihak-pihak tertentu. Apa jadinya,
manakala peristiwa seperti itu terjadi di tempat lain dan selalu berulang.
Siapapun akan gelisah. Orang tua yang menyekolahkan anaknya tidak akan tenang,
khawatir anaknya menjadi korban. Kepala sekolah dan guru akan merasa terbebani.
Demikian pula, siswa yang sebenarnya tidak ikut-ikut akan merasa terancam.
Jumlah sekolah sedemikian
banyak. Manakala tidak ada jaminan keselamatan dan ketenangan, maka pihak-pihak
yang terkait dengan sekolah akan gelisah dan merasa
tertekan. Sekolah yang semestinya melahirkan suasana
damai, menyenangkan, dan menjadi harapan masa depan, justru
berbalik menjadi tempat yang menakutkan dan atau setidak-tidak mengkhawatirkan.
Sekolah tidak boleh melahirkan suasana seperti itu.
Sekolah adalah tempat
anak-anak menimba ilmu, berlatih berperilaku luhur,
terpuji dan mulia. Di tempat itu para siswa diajari ilmu
pengetahuan dan tata krama pergaulan sehari-hari. Ke sekolah bukan mencari
musuh, melainkan justru belajar tentang banyak hal, tidak
terkecuali mencari teman. Tidak ada satu pun sekolah yang mengajari
para siswanya bermusuhan, dan apalagi tawuran. Kejadian
itu betul-betul membuat banyak orang repot dan
wajar melahirkan pertanyaan, sebenarnya ada apa di sekolah hingga
peristiwa yang sangat menyedihkan itu terjadi.
Ada beberapa hal yang
kiranya bisa diambil pelajaran dan juga bahan perenungan
selanjutnya, yaitu :
Pertama, Bahwa kualitas hasil pendidikan tidak selalu ditentukan oleh jumlah
anggaran yang disediakan. Dulu, banyak
orang mengkritik rendahnya kualitas pendidikan, disebabkan
jumlah anggaran sangat terbatas. Ternyata setelah pemerintah
menganggarkan 20 % dari APBN pada setiap tahunnya, persoalan
pendidikan masih saja muncul, yang juga tidak kurang rumitnya untuk
diselesaikan, seperti adanya tawuran antar pelajar ini.
Kedua, sementara orang menganggap bahwa pendidikan di kota,
lebih-lebih di kota besar lebih unggul dibandingkan dengan pendidikan di kota
kecil dan apalagi di
pedesaan. Pada aspek-aspek tertentu, pendidikan di
perkotaan memiliki kelebihan, seperti sarana dan prasarana,
lingkungan, dan lain-lain. Akan tetapi ternyata, lingkungan perkotaan memiliki
problem tersendiri yang tidak selalu mendukung prosess pendidikan.
Pendidikan kharakter,mungkin justru lebih
mudah ditanamkan di sekolah-sekolah yang jauh dari hiruk
pikuk perkotaan.
Ketiga, pendidikan tidak cukup hanya dimaknai secara
sederhana, yaitu sebagai proses penyampaian seperangkat pelajaran
yang tertuang dalam kuriukulum pada setiap jenjang satuan
pendidikan. Mata pelajaran itu sebenarnya adalah alat yang digunakan
untuk membentuk watak, prilaku, dan tabiat para
siswa. Namun terasa aneh ketika pelajaran itu dianggap
sebagai sesuatu yang harus diterima oleh para siswa pada rentangan waktu
tertentu, lingkup tertentu, dan kedalaman tertentu. Kewajiban para siswa menerima
pelajaran, tanpa mereka mengetahui maksud dan filosofinya,
kecuali hanya agar lulus ujian, akan dirasakan sebagai beban yang
memberatkan. Manakala itu yang terjadi, maka para
siswa tidak akan merasakan nikmatnya belajar, dan
bahkan juga nikmatnya ilmu pengetahuan. Selain itu, sekolah hanya akan diangap
sebagai tahapan yang harus dilalui oleh setiap anak pada
usia tertentu. Akibatnya, sekolah tidak lebih menjadi tempat yang
menggelisahkan dan membelenggu. Suasana seperti itu bisa diamati gelajanya dari
ketika mereka lulus akan mengekspresikan kegembiraannya secara berlebihan,
lewat saling mencorat-coret baju, dan juga kebut-kebutan.
Keempat, mestinya harus disadari bahwa, pelajaran apapun yang diberikan
di sekolah, tujuannya harus diketahui benar oleh para siswa. Dalam
Islam, kegiatan pencaharian ilmu adalah dimaksudkan untuk meraih puncak
religiousitas, yaitu memahami dirinya sebagai bekal untuk
mengenali Tuhannya. Oleh karena itu, maka belajar apa saja, biologi, fisika,
kimia, matematika, psikologi, sosiologi, sejarah, seni,
bahasa, filsafat, dan
lain-lain, harus memulainya dengan menyebut
Asma Allah, dan baru berakhir dalam arti meraih apa yang
dicari tatkala mencapai puncak kesadaran, tentang adanya
Dzat Yang Maha Kuasa.
Proses
dan orientasi seperti dikemukakan itu, sangat berbeda dibandingkan
dengan ketika mempelajari ilmu pengetahuan hanya
dimaksudkan untuk mempersiapkan ujian dan kemudian agar memperoleh
selembar ijazah. Proses kegiatan seperti itu bisa dimaknai,
sebagaimana seringkali terdengar, yaitu para siswa baru
diajar, tetapi belum dididik. Maka
pantas, mereka mudah tawuran, dan kehilangan nilai-nilai
yang seharusnya dijunjung tinggi sebagai anak terpelajar.
terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat
perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan
adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya
keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari
lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya
menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat
perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi
itu untuk pengembangan dirinya.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada
anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar
bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar
kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu
melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak
mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung
dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap
kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus
mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai
dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak
merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton,
peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas
praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar
sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana
guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan
sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang
sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam
“mendidik” siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami,
juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah
yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya
narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan
pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu
dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian
reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku
berkelahi
KESIMPULAN
Perkelahian,
atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Ada yang
mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja. Banyak sekali
dampak negatif dari tawuran tersebut contoh umum nya seperti luka atau tewas
nya para siswa dan rusaknya fasilitas umum. Penyebab perkelahian
pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar, masalahnya sedemikian
kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan
pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan
publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.
Sekolah adalah tempat
anak-anak menimba ilmu, berlatih berperilaku luhur,
terpuji dan mulia. Di tempat itu para siswa diajari ilmu
pengetahuan dan tata krama pergaulan sehari-hari. Ke sekolah bukan mencari
musuh, melainkan justru belajar tentang banyak hal, tidak
terkecuali mencari teman. Faktor-faktor
psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar yaitu : Faktor
Internal, Faktor Keluarga, Faktor Sekolah, Faktor Lingkungan.
PENDAPAT
Perkelahian pelajar
tentu merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif
dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat
perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami
cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan
fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan.
Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang
paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa
terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Banyak faktor
yang di tuduhkan seperti yang dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang
memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang
dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah. Padahal penyebab
terjadinya perkelahian itu tidak sesederhana itu. Mestinya harus disadari
bahwa, pelajaran apapun yang diberikan di sekolah,
tujuannya harus diketahui benar oleh para siswa. Dalam Islam,
kegiatan pencaharian ilmu adalah dimaksudkan untuk meraih puncak religiousitas,
yaitu memahami dirinya sebagai bekal untuk mengenali
Tuhannya.
Sumber :
Langganan:
Postingan (Atom)